Baiklah, aku tak pandai merangkai kata seperti engkau, tapi aku mempunyai prinsip yang sama denganmu tentang kesadaran sejarah. Meskipun aku kaget juga dengan jawabanmu terhadap pertanyaan Herman tentang alasan kamu menulis, betapa kau sangat mendendam jika kelak anak cucumu tidak mengenal siapa engkau dan lebih mengenal orang lain, lalu engkau dilupakan begitu saja. Kamu memang aneh, tidak mengapa, karena dendammu itu, aku kini bisa merasakan sensasi pengalaman ini. Terima kasih karena terus mendendam akan hal itu, Zira. Biar aku kutip tulisanmu di bab itu:
"Kenapa kau menulis, Zira?"
"Dendam," jawab Zira.
"Dendam?" Herman tampak keheranan.
"Ya, dendam sejarah. Sewaktu aku kecil dulu, aku suka sekali membaca. Membaca apa saja. Setiap selesai membaca, aku selalu bertanya soal kenapa aku lebih kenal gagasan dari penulis buku yang kubaca daripada gagasan kakekku sendiri? Misalnya, kenapa aku lebih kenal siapa Albert Einstein, Pablo Neruda, Pramoedya Ananta Toer, atau yang lainnya yang bukan siapa-siapa buatku daripada kakekku sendiri yang jelas-jelas mewariskan gen kehidupan buatku"
Herman masih heran pada jawaban Zira. Zira menyesap tehnya.
"Ternayata sebabnya satu, Herman." Zira melanjutkan. Herman masih serius memperhatikan.
"Apa itu?" tanya Herman.
"Sebabnya mereka semua menulis, sementara kakekku tidak sempat meninggalkan selembar tulisanpun semasas hidupnya. Sejak itulah aku mendendam dendam. Aku tak mau kelak cucuku, atau orang-orang terdekatku, lebih mengenal siapa orang lain daripada kakeknya sendiri. Aku tahu apa yang dipikirkan Einstein muda, tapi aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh kakekku semasa ia masih muda. Kami tidak sempat bertemu, Kakkekku meninggal sebelum ia sempat bercerita banyak padaku"
Herman tersenyum, "Haha, kau memang serius sejak kecil, Zira"
Zira tertawa, "Aku memang serius soal itu," lanjutnya.
Aku suka sekali membaca catatan-catatanmu, kali ini, aku siapkan cara khusus dalam membacanya. Aku baca semua tulisanmu di jalanan. Aku membacanya di angkot ketika pulang dari toko buku, perjalanan menuju gang kostan, ketika sarapan nasi uduk di pertigaan jalan menuju pasar. Lalu sepanjang perjalanan menelusuri kaki lima di depan mesjid. Rasanya sungguh berbeda! Lebih Menyenangkan! Seperti pagi itu, aku menyengaja membawa serta bukumu dalam perjalanan melarikan diri dari kotak berukuran 3mx4m yang sukses mengurungku dalam kemalasan sehari kemarin, kamar kostanku. Aku bangun terlambat pagi itu, Zira. Tak sempat menyapa Tuhan di subuh hari. Kemalasan yang masih bersisa. Lalu aku bertekad untuk berada di luar kostan seharian. Seorang teman bertanya dengan heran, "Mau kemana pagi2 udah rapi?", aku lalu menjawab sekenanya "Ngga tau, yang penting keluar dulu aja"
Selama perjalanan, aku baca tulisan-tulisanmu. Aku beritahu satu hal, Zira. Aku tidak membaca tulisanmu dari halaman depan sampai halaman belakang. Aku membacanya secara acak!Aku tidak peduli jika kau sudah menyetting alur kumpulan tulisanmu itu bisa dibaca secara acak atau mungkin ada alur tersembunyi dibalik tulisan yang tak sama jenisnya tiap bab itu. Aku terkagum dengan caramu bercerita, terkadang filosofis, namun tetap jail. Seperti seri A Blues For You, dimana bagian terakhirnya hanya halaman kosong, tanpa kata-kata, tanpa tulisan. Hanya empat titik yang kau sertakan dalam judulnya. Aku menebak-nebak, apa yang kau pikirkan saat itu, atau apa yang ada di pikiran orang-orang saat memandangi halaman kosong itu. Kau selalu membuat orang bertanya-tanya.
Taukah kau Zira, mengapa bukumu aku bawa dalam perjalanan membebaskan diri itu? Karena setelah absen menyapa Tuhan akibat rasa malas yang terakumulasi disubuh itu, aku merasa diburu perasaan bersalah. Takut kalau IA menjauhiku hari itu, karena kealpaanku. Lalu pembalasan akan datang dalam bentuk yang tidak terduga, entah hari ini atau kelak. Aku ketakutan, Zira. Aku mencari sesuatu yang bisa kukerjakan untuk menebus rasa bersalahku. Entah mengapa, aku berharap bisa menemukan sedikit pencerahan dengan membaca tulisanmu. Bukankah itu satu hal yang konyol? Bukankah kumpulan tulisanmu ini kau beri judul Curhat Setan bukan Curhat Malaikat? Tapi, bukankah setan lebih mengenal IA daripada aku? Setan pernah melihat IA bukan? Bahkan seperti dalam curhatnya dimimpimu, setan adalah yang terpilih untuk menjadi jalan bagi kemerdekaan manusia.
Kembali pada ceritaku pagi itu, perjalananku terhenti di sebuah mesjid yang cukup besar. Aku memutuskan untuk berdiam sejenak disana. Aku ambil air wudlu, lalu mencoba menyapaNYA lewat sholat sunnah. Masih dalam rangka menghilangkan rasa bersalahku. Seusai sholat, aku buka percakapan denganNYA, namun sepertinya, kata-kata sulit keluar. Aku tahu, IA tak perlu penjelasan. IA sudah tahu semuanya. Karena itulah akhirnya aku hanya terdiam. Menyesali kesialanku karena tak bisa curhat padaNYA. Dan bukumu, segera kubuka seumpama kitab suci saja. Aku membuka sembarang halaman yang belum kubaca, lalu menemukan barisan kalimat itu, kalimat-kalimat yang kau beri judul: Doa.
tuhan,
kalau kau membalas kejahatanku
dengan kejahatan lagi,
apa bedanya kau dan aku?
amin.
Aku terbahak membaca kejujuranmu. Selama beberapa menit, aku adalah satu-satunya orang dalam ruangan mesjid megah, menertawakan kata-kata yang kau tuliskan untuk tuan rumah ruangan yang sedang aku tempati. Namun setelah tawa itu, entah mengapa aku menangis. Kau punya penjelasan untuk tangis itu, Zira? Tawa tidak selamanya tentang hal yang menyenangkan, begitupun tangis, tak selalu tentang kesedihan. Yah, aku memang sedang bingung, jangan tanya tawa dan tangisku itu untuk apa. Aku hanya merasa Tuhan sedang menghiburku lewat tulisanmu. Bahwa IA tidak akan membalas kejahatan yang kulakukan pagi itu dengan kejahatan lagi, karena ia adalah Tuhan. IA baik sekali, bukan? Setidaknya, saat itu, IA telah membuatku kembali mengucapkan janji untuk tidak mengulangi kesalahanku lagi, meskipun kurasa IA juga tahu aku akan melanggar lagi janji itu entah berapa hitungan waktu kedepan, dengan sengaja, atau tak sengaja. IA selalu tahu. Lalu entah datangnya dari mana, aku merasa diberi subsidi energi untuk bisa melanjutkan sisa hari itu dengan semangat.
Untuk melengkapi doamu itu, aku tuliskan kembali halaman terakhir dari kumpulan tulisanmu:
tu(h)an,
bila aku berbuat salah---
katakataku, tindakanku,
kecurigaanku, pikiranku, perasaanku,
dan segala hal di sekeliling diriku---
maafkan aku,
sebab bukankah itu
pembeda
kau dan aku
Terima kasih, Zira, karena telah menuliskan doamu, juga kisahmu yang lain. Kurasa, aku ingin menjadikanmu sebagai temanku, bolehkah?
nb: Heiii... demi tulisan setengah curhat ini, aku jadi belajar untuk tidak menyapamu dengan elu-gue seperti curhatanku yang lain.
Bingung mo comment apa? Benarkah semua itu? Sedalam dan separah itukah?
Parah ya cha? Apa yg tertutup dari gw lebih BANYAK daripada apa yang keliatan :)
Cuman disuruh komen ma yang punya blog, komentar gw sih ... mmm... 'Zira nama yang bagus' (soalnya gw cuman baca judulnye doang :D)
Parah!!! huehuehue...