Mengagumi Pemuda ini dari sisi yang tak terbaca. Ada resonansi tak terbantahkan ketika jiwa mudanya bergetar, meneriakan idealisme, menurutkan hati nuraninya. Terlalu absurd jika gw ikut berteriak, menjadi suporter baginya. Terlalu angkuh hati ini untuk sekali saja berbangga tentangnya. Biarlah rasa sayang itu berganti rupa menjadi omelan yang membosankan, perintah yang memaksa, dan nasehat yang menyebalkan. Kali ini, ijinkan gw menerjemahkan rangkaian sikap itu kedalam bahasa yang gamblang. Itupun karena gw yakin, dia tidak akan berkunjung kesini dan membaca tulisan ini.
Pemuda ini pernah mengirim sms, meminta dibelikan pulsa, padahal baru saja minggu kemarin dia meminta hal yang sama. Lalu gw mengatakan TIDAK, semata-mata untuk melatih kemandirian dan mengajarkan untuk tidak menggampangkan sesuatu. Lalu tanpa disangka, dia tidak memaksa, malah pasrah dengan keputusan gw, tanpa perlawanan yang biasanya. Seketika gw langsung merasa bersalah, reaksi yang tidak sesuai dengan apa yang gw bayangkan. Lalu akhirnya gw kirim juga pulsa, tentu saja dengan waktu jeda, gengsi kalau langsung mengabulkan permintaannya saat itu juga. Lalu ia berterima kasih dengan kata-kata gombal penuh pujian. Gw tau saat itu sedang dibodohi si kunyuk ini, tapi tetap saja gw senang dengan pujiannya ^^. Juga ketika tidak ada kabar saat ia field trip ke Jogja, dan beberapa sms gw tak kunjung dibalas, lalu kata-kata penuh khawatir terucap juga: answer me! i'm worry!. Akhirnya ia membalas sms gw dan berkata ia baik-baik saja. Lalu diakhiri dengan permintaan penuh drama yang mengatakan perlu uang tambahan karena ada sesuatu yang terjadi diluar perkiraannya. Lagi-lagi, dia gunakan kehawatiran gw untuk mendapat uang jajan lebih. Kampret! dasar licik! Gw membayangkan dia sedang cengar-cengir puas di Jogja sana.
Gw inget, suatu hari gw bertindak sebagai reporter yang melakukan interview untuk sebuah tulisan yang ga pernah jadi. Si anak band ini bercerita tentang idealismenya. Bagaimana ia bermusik, bagaimana ia merasa tidak pernah didukung oleh orang tua, namun tetap ingin mengekspresikan dirinya di jalur ini. Bagaimana ia bersama teman-teman bandnya pertama kali mengisi sebuah acara anak muda Bandung. Bagaimana ia sering ngamen untuk mengumpulkan dana bagi kegiatan sekolah atau kampusnya. Bagaimana ia bermimpi menjadi seorang rockstar, seorang basist handal. Bagaimana idealisme band-band indie yang biasanya banting stir, mengalah pada selera pasar setelah pindah ke jalur mainstream. Gw hanya bisa menyembunyikan kekaguman dalam hati dan menertawakan diri sendiri karena gitar pertama yang ia pakai untuk belajar bermusik adalah milik gw. Gitar yang gw beli dengan jatah 'uang lebaran' gw waktu smp, karena provokasi seorang teman yang sedang giat-giatnya belajar maen gitar. Dan gw? sampe sekarang ga bisa memainkan si benda itu, miris.
Pemuda itu juga pernah menipu gw, saat gw merasa sedikit ke-GRan karena dia hanya menginginkan gw yang mengantarnya dalam pengambilan raport. Oooh, dia mulai menganggap gw sebagai orang yang bisa diandalkan? Ternyata dia hanya ingin menghindari omelan guru dan orang tua karena lagi-lagi alpha lebih dari 30 hari. Geblek! Lo mau ga naek kelas lagi? bisa ga sih lebih bertanggung jawab sama hidup lo sendiri? Lalu suatu hari gw membentaknya karena ia tidak ingin kuliah, hanya ingin dibelikan motor. Berdebat lalu diakhri dengan kemarahan. Mau jadi apa lo? Cowo ga berpendidikan? Orang lain rela melakukan apapun asalkan bisa kuliah. Setelah akhirnya dia menyerah dan menerima tantangan untuk mengikuti ujian masuk polban, gw harus kembali menyembunyikan kebanggan karena ia berhasil lulus dalam test yang katanya susah itu dengan waktu belajar ga lebih dari satu bulan. Jadilah ia si anak pariwisata. Lucky him!. Atau ketika dia kembali merengek, meminta dukungan untuk menyampaikan pada orang tua bahwa ia ingin pindah jurusan di akhir semester 4, 2 semester lagi menuju gelar sarjana muda. Kali ini gw harus dibenturkan pada dua kepentingan. Orang tua dan masa depan dia. Katanya ia sudah menemukan jiwanya, dan memutuskan untuk menjadi si anak sastra. Lalu orang tua sudah tidak bisa mengusahakan jika harus menanggung biaya kuliah dari nol lagi. Akhirnya kembali gw bertaruh dengan nasib. Boleh pindah jurusan, asalkan masuk sastra unpad lewat snmptn. Kesempatan yang ia miliki hanya tinggal seminggu, untuk belajar dan mengurus ini itunya. Beruntung karena saat itu pendaftaran snmptn ada gelombang kedua, untuk siswa yang mengulang UN karena tidak lulus. Dan lagi-lagi, gw harus terheran-heran dengan keberhasilan yang ia raih. Si pemuda ini, entah genius yang tersembunyi, atau sekedar seorang yang lucky?
Dia bukan seseorang yang menghiasi dirinya dengan prestasi umum yang membanggakan, kuliah dengan IP tinggi dan mendapatkan beasiswa. Sikap yang ia tunjukan lebih banyak membuat gw jengkel dan kesal. Terlalu absurd bukan jika gw harus mengakui bahwa faktanya, ia bisa mencapai sesuatu yang pernah gw cita-citakan. gitaris, sastrawan, kuliah di kampus ternama, traveling kemana-mana... Maka sekali lagi, biarkan gw mengaguminya dari sisi yang tidak pernah terbaca olehnya. Mengkonversi rasa sayang dalam bentuk yang sulit diterjemahkan. Semoga ketika ia dewasa, ia bisa merasakan resonansi yang gw getarkan. Mengenali kesamaan frekuensi yang selama ini mendampingi setiap denyut mimpinya. Jadilah seseorang yang kamu inginkan, dan bertanggung jawablah pada setiap pilihan yang kamu buat.
Baru sadar, ga ada foto gw sama si pemuda itu, hanya ini kenangan kami berdua ^^
Wah, ternyata irsyad membanggakan ya phi :)
Hehehe, setidaknya, gw bangga sama dia cha ^^
itupun gw baru sadar sekarang, agak janggal kan kl hrs memuji adek sendiri? hehehe
Ngga juga phi, justru karena peran sang kakak juga sehingga adiknya bisa menjadi demikian hehe...*aku juga sang kakak :D*
hmmm, makasih yah adik2qu... kalian berdua tdk melupakan jasa2 kakakmu ini sehingga kalian bs sperti sekarang... hehe... kaburrrrrrrrrrrrrrrrrr.....